• Home
  • Berita
  • Duh! Cuma 1% Wilayah Bumi yang Kualitas Udaranya Sehat

Duh! Cuma 1% Wilayah Bumi yang Kualitas Udaranya Sehat

Redaksi
Jun 15, 2023
Duh! Cuma 1% Wilayah Bumi yang Kualitas Udaranya Sehat
Jakarta -

Sebuah studi terbaru tentang tingkat polusi udara harian global menunjukkan bahwa hampir tidak ada tempat di Bumi yang aman dari udara tidak sehat.

Sekitar 99,82% dari luas daratan global terpapar particulate matter 2.5 (PM2.5) di atas batas aman yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia. PM2.5 adalah partikel kecil di udara yang dikaitkan para ilmuwan dengan kanker paru-paru dan penyakit jantung.

Menurut studi peer-review yang diterbitkan di Lancet Planetary Health, hanya 0,001% populasi dunia yang menghirup udara yang dianggap dapat diterima. Studi yang dilakukan para ilmuwan di Australia dan China ini menemukan bahwa pada tingkat global, lebih dari 70% hari pada tahun 2019 memiliki konsentrasi PM2.5 harian melebihi 15 mikrogram polutan gas per meter kubik. Kadar ini melebihi batas harian yang direkomendasikan WHO.

Dikutip dari The Japan Times, kualitas udara sangat mengkhawatirkan dialami wilayah seperti Asia Selatan dan Asia Timur. Lebih dari 90% hari memiliki konsentrasi PM2.5 di atas ambang batas 15 mikrogram. Berapa pun jumlah PM2.5 tetap berbahaya. Para ilmuwan dan regulator biasanya kurang memperhatikan tingkat harian dibandingkan paparan kronis.

"Saya harap penelitian kami dapat mengubah pemikiran para ilmuwan dan pembuat kebijakan terkait paparan PM2.5 setiap hari," kata Yuming Guo, peneliti utama dan profesor kesehatan lingkungan di Monash University.

"Paparan jangka pendek, terutama peningkatan mendadak PM2.5 berdampak masalah kesehatan yang signifikan. Jika kita dapat membuat udara bersih setiap hari, tentu paparan polusi udara dalam jangka panjang akan lebih baik," tambahnya.

Para ilmuwan dan pejabat kesehatan masyarakat telah lama mewaspadai bahaya tersebut. Polusi udara membunuh 6,7 juta orang per tahun, dengan hampir dua pertiga dari kematian dini disebabkan oleh partikel halus. Di sisi lain, mengukur paparan global terhadap PM2.5 merupakan sebuah tantangan karena kurangnya stasiun pemantauan polusi.

Guo dan rekan penulisnya mengatasi tantangan tersebut dengan menggabungkan pengukuran polusi udara berbasis darat yang dikumpulkan dari lebih dari 5.000 stasiun pemantauan di seluruh dunia dengan simulasi pembelajaran mesin, data meteorologi, dan faktor geografis untuk memperkirakan konsentrasi PM2.5 harian global.

Ketika memperkirakan paparan tahunan di semua wilayah, para peneliti menemukan bahwa konsentrasi tertinggi terjadi di Asia timur (50 mikrogram per meter kubik), diikuti oleh Asia selatan (37 mikrogram) dan Afrika utara (30 mikrogram). Penduduk Australia dan Selandia Baru menghadapi ancaman paling kecil dari partikel halus, sementara wilayah lain di Oseania dan Amerika bagian selatan juga termasuk tempat dengan konsentrasi PM2.5 tahunan terendah.

Mereka juga meneliti bagaimana polusi udara berubah selama dua dekade hingga 2019. Misalnya, sebagian besar wilayah di Asia, Afrika utara dan sub-Sahara, Oseania, dan Amerika Latin serta Karibia mengalami peningkatan konsentrasi PM2.5 selama 20 tahun.

Sebagian peningkatan ini didorong oleh kebakaran hutan yang intensif. Konsentrasi PM2.5 tahunan dan PM2.5 harian yang tinggi di Eropa dan Amerika Utara menurun, berkat peraturan yang lebih ketat. Adapun partikulat halus terdiri dari jelaga dari asap kendaraan, asap dan abu dari kebakaran hutan dan polusi kompor biomassa, ditambah aerosol sulfat dari pembangkit listrik dan debu gurun.

Artikel tersebut juga menunjukkan bagaimana kadar partikel halus bervariasi tergantung pada musim, cerminan dari aktivitas manusia yang mempercepat polusi udara. Misalnya, China timur laut dan India utara mencatat konsentrasi PM2.5 yang lebih tinggi dari Desember hingga Februari, kemungkinan terkait dengan peningkatan penggunaan generator panas berbahan bakar fosil selama bulan-bulan musim dingin. Negara-negara Amerika Selatan seperti Brasil, di sisi lain, telah mengalami peningkatan konsentrasi partikel halus di udara antara Agustus dan September. Hal ini kemungkinan terkait dengan kebiasaan menebang dan membakar pohon di musim panas.



Simak Video "Kualitas Udara di Jakarta Dinilai Tidak Sehat"
[Gambas:Video 20detik]
(rns/rns)
back to top