• Home
  • Berita
  • Akademisi Nilai RI Butuh Strategi Khusus Bangun Kedaulatan Siber

Akademisi Nilai RI Butuh Strategi Khusus Bangun Kedaulatan Siber

Redaksi
Sep 20, 2023
Akademisi Nilai RI Butuh Strategi Khusus Bangun Kedaulatan Siber
Jakarta -

Kluster Riset Perdamaian, Konflik dan Ekstremisme Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia mengeluarkan policy paper berjudul Kedaulatan Siber Indonesia, Senin (18/9/2023). Dalam laporan tersebut menghadirkan sejumlah bahasan, salah satunya isu keamanan siber.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Prodi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI) Muhamad Syauqillah menjelaskan perkembangan dan tantangan kedaulatan siber serta perbandingannya dengan negara lain.

Selain itu, hal itu juga membahas terkait perkembangan geopolitik yang dihadapi Indonesia seperti isu Laut China Selatan, penguatan proxy Amerika dengan beberapa negara yakni Filipina, Papua Nugini, dan poros kerja sama AUKUS (Australia, Inggris, dan Amerika Serikat). Selain itu juga dibahas terkait rencana SpaceX menyediakan layanan Starlink langsung ke masyarakat di Indonesia dan dampaknya terhadap pelaksanaan Pemilu 2024.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Untuk merespons permasalahan maupun dinamika tantangan domestik dan lingkungan strategis tersebut, Indonesia memerlukan strategi khusus dalam ketahanan dan keamanan sibernya. Rencana hadirnya Starlink yang berbasiskan satelit Low Earth Orbit (LEO) merupakan ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Secara khusus, SKSG UI telah sejak lama mengkaji ancaman satelit LEO terhadap kedaulatan, pertahanan, dan keamanan Indonesia," kata Syauqillah dalam keterangannya, Rabu (20/9/2023).

Sebelumnya di tahun 2020, dua peneliti SKSG UI yaitu Ariesta Satryoko dan Arthur Josias Simon Runturambi telah menuangkan kajian tersebut dalam paper berjudul Strategi Indonesia Menghadapi Era Konstelasi Low Earth Orbit Satelit dalam Kemungkinan Penggunaannya Oleh Intelijen Asing Sebagai Alat Spionase.

Syauqillah menekankan hal-hal strategis yang perlu dilaksanakan untuk memastikan kehadiran penyelenggara internet tersebut tetap memperhatikan aspek keamanan nasional.

Menurutnya, kluster riset mempunyai catatan mengenai teknologi satelit LEO yang dimiliki Elon Musk. Pada 28 Februari 2022, pendiri Tesla ini menawarkan internet gratis melalui Starlink kepada Pemerintah Ukraina. Setelah pemerintah Ukraina tergantung, pada 30 September 2022, Elon Musk mulai menghentikan layanan Starlink. Hal ini tentu mengancam nyawa tentara Ukraina, karena Starlink adalah media yang mereka gunakan di medan perang.

"Pada 14 Oktober 2022 SpaceX meminta Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) serta Uni Eropa membayar $120 juta untuk penyediaan internet di Ukraina selama tahun 2022, dan $400 juta untuk satu tahun ke depan. Pada 30 Mei 2023 Pentagon memutuskan untuk membayar tagihan tersebut. Hal ini menunjukkan Elon Musk memanfaatkan kondisi geopolitik global untuk mendapatkan keuntungan bisnis," ungkap Syauqillah.

Menurutnya, catatan lain yakni adanya upaya yang dilakukan menumbangkan Pemerintah Iran yang saat itu tengah melakukan pembatasan akses internet. Bahkan terjadi pemblokiran sejumlah media sosial pada 16 September 2022 untuk mencegah meluasnya aksi demo kematian Mahda Amini.

Saat itu pemerintah Amerika Serikat meminta Elon Musk untuk mengaktifkan layanan Starlink di Iran, serta mengecualikan perangkat Starlink dari daftar larangan ekspor AS ke Iran.

"Masih ada catatan lainnya dari Starlink. Termasuk pemerintah Turkiye yang menolak Starlink karena kurangnya pengawasan dan regulasi terhadap layanan Starlink. Sehingga akan mempermudah Starlink mendapatkan berbagai informasi sensitif dari negara tempatnya beroperasi. Pemerintah RRT juga mengingatkan Starlink saat ini dijadikan alat militer Amerika Serikat. Bahkan Ren Yuan Zheng and Jin Sheng pada Februari 2022 menyampaikan bahwa terdapat hubungan erat antara Starlink dan militer AS," jelasnya.

Menurutnya, pemerintah seharusnya bisa membaca cara Elon Musk, karakteristik Starlink, dan berbagai isu geopolitik yang terjadi terhadap rencana Starlink yang memberikan layanan internet langsung di Papua.

Syauqillah juga menggarisbawahi terkait Section 702 dari US Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) atau UU Pengawasan Intelijen Luar Negeri Amerika Serikat yang mewajibkan penyedia layanan komunikasi elektronik AS termasuk Starlink dan anak perusahaannya untuk memberikan informasi intelijen tersebut.

"Hal ini tentunya menjadi potensi ancaman serius dikaitkan dengan isu Papua dan ketika Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi yaitu Pemilu 2024. Selain itu, Mengingatkan adanya potensi terorisme siber, selama ini ruang siber digunakan untuk pendanaan terorisme, rekrutmen, propaganda pesan intoleransi, radikal, dan terorisme," tuturnya.

Syauqillah menegaskan bahwa perkembangan teknologi adalah keniscayaan. Namun, adopsi perkembangan teknologi tersebut harus sesuai kebutuhan dan tetap memperhatikan kedaulatan bangsa.

"Untuk itu, negara harus berdaulat dan memiliki kendali atas infrastruktur fisik siber, yang diwujudkan melalui pengendalian kehadiran pelaku usaha asing penyedia infrastruktur fisik siber seperti Starlink di Indonesia, melalui kerangka kerja sama dengan pelaku usaha dalam negeri sebagai entitas terpisah, sehingga terdapat segregation of duty yang efektif dalam memecah dan memitigasi risiko ancaman terhadap pertahanan dan ketahanan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia," ungkap Syauqillah.

Sementara itu, Pengajar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung (ITB) Mohammad Ridwan Effendi turut menyoroti Inter Satellite Link (ISL) yang memanfaatkan sinar laser yang berperan sebagai backbone di luar angkasa.

"ISL ini memungkinkan Starlink dapat menghindari gateway internet Indonesia, sehingga negara tak memiliki kedaulatan untuk menjalankan kebijakan internet seperti trust positive dan kewajibannya lawful intercept, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan," jelasnya.

Di sisi lain, Ketua Bidang Keamanan Siber Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Arry Abdi Salman mengatakan pentingnya kontrol gateway internet dan memastikan kerja sama dengan penyelenggara internet global seperti SpaceX tidak mengorbankan kepentingan nasional.

"Melalui kerja sama, beberapa ISP anggota APJII yang merupakan UMKM, telah memanfaatkan kapasitas satelit Starlink melalui skema kerja sama untuk menyediakan layanan internet kepada masyarakat. Kerja sama ini tentunya dengan tetap memastikan gateway berada di Indonesia dan negara berdaulat," tutup.



Simak Video "Lemhannas: RI Satu-satunya Negara di ASEAN Tanpa UU Keamanan Siber"
[Gambas:Video 20detik]
(ncm/ega)
back to top